Banner 468 x 60px

 

Thursday, February 2, 2012

Pendahuluan, Adab Guru & Murid

0 comments

(Said Hawwa). Warisan kenabian adalah acuan pembaruan yang benar, karena misi utama para Rasul alaihimussalam adalah tadzkir, ta’lim, dan tazkiyah. Karena itu, pewaris kenabian yang utuh adalah orang yang mampu menjaga hal-hal ini tetap utuh dan sempurna, melaksanakannya, dan menunaikan hak-hak Allah padanya. Jarang sekali tiga hal ini berhimpun pada seseorang. Ada seorang yang piawai dalam menyampaikan nasihat tetapi tidak banyak berilmu; ada seorang yang banyak berilmu tetapi tidak piawai dalam menyampaikan nasihat; ada seorang yang berilmu dan piawai dalam menyampaikan nasihat tetapi tidak mampu melakukan tazkiyah. Siapa yang memiliki ketiga hal ini maka dia telah memiliki “obat mujarab” kehidupan. Jika tidak maka proses tajdid tetap harus berlangsung di kalangan mereka yang menginginkan dan yang melaksanakannya.

Hal terpenting yang harus menjadi perhatian nasihat para pemberi nasihat adalah mengingatkan (tadzkirah) kepada ayat-ayat Allah di ufuk dan di jiwa; mengingatkan kepada perbuatan dan hari-hari Allah; mengingatkan kepada berbagai hukuman dan sanksiNya; mengingatkan kepada apa yang dijanjikan, disiapkan, dan diancamkan Allah kepada orang-orang yang bermaksiat atau ta’at kepadaNya.

Hal terpenting yang harus menjadi perhatian ta’lim para ulama ialah ta’lim Al Qur’an dan As Sunnah yang merupakan penjelasan Al Quran.

“Akan tetapi (Dia Berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya” (Ali Imran: 79)

Hal terpenting yang harus menjadi perhatian tarbiyah para murabbi ialah memperbaiki hati dan perilaku:

“Sebagaimana Kami telah mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui” (Al-Baqarah: 151)

Setiap zaman punya penyakit dan masalah tersendiri, dan sepanjang zaman juga punya penyakit dan masalah tersendiri, sedangkan seorang ‘alim yang rabbani ialah orang yang mampu mengobati penyakit-penyakit kontemporer dan penyakit-penyakit sepanjang zaman. Itulah tanda keberhasilannya dalam tazkiyah.

Semenjak abad pertama telah muncul aliran irja’ (Murji’ah), tasyayyu’ (Syi’ah), kharijiyah (Khawarij), dan i’tizal (Mu’tazilah). Inti ajaran irja’ ialah meninggalkan amal; inti tasyayyu’ ialah berlebihan dalam masalah ahlul bait Rasulullah saw; inti ajaran Khawarij ialah ketumpulan akal, terburu-buru mengkafirkan, tidak menghormati orang yang memiliki keutamaan, dan iman mereka yang tidak melampaui kerongkongan mereka; dan inti ajaran i’tizal adalah terburu-buru melakukan ta’wil yang tidak ilmiah. Aliran-aliran seperti ini dianggap sebagai penyakit sepanjang zaman yang bisa muncul terus-menerus. Demikian pula penyakit yang memiliki sifat langgeng dalam kemunculannya.

“Menjalar di antara kalian penyakit-penyakit ummat sebelum kalian yaitu dengki dan permusuhan…” (HR Ahmad dan Tirmidzi, Hadits ini Shahih)

Selain itu, setiap zaman punya penyakit tersendiri. Di antara penyakit zaman kita ialah apa yang diisyaratkan oleh beberapa nash:

“Ilmu yang pertama kali diangkat dari bumi adalah kekhusyu’an.” (HR Thabrani, hadits ini hasan)

“Tetapi kalian seperti buih banjir…dan sungguh Allah akan menanamkan wahn di hati kalian…cinta dunia dan takut mati.” (HR Abud Dawud, hadits ini hasan)

Anda lihat bahwa zaman kita sekarang ini adalah zaman dimana kekhusyu’an sangat sedikit tetapi cinta dunia dan takut mati sangat mendominasi. Karena itu, seorang ‘alim (guru atau syaikh) yang tidak berhasil menghilangkan penyakit-penyakit ini maka ia tidak banyak bisa melakukan tajdid. Seorang ‘alim harus memiliki kemampuan seperti ini sehingga para murid bisa merasakannya.

Seorang guru dan da’i harus menyelenggarakan berbagai majlis nasihat, majlis ilmu, dan majlis tazkiyah, sehingga mungkin bisa menggabungkan antara yang satu dengan yang lain, atau membuat majlis umum untuk nasihat dan majlis khusus untuk tazkiyah yang menyelenggarakan dzikir dan mudzakarah fardiyah atau jama’iyah dengan membaca sesuatu yang paling cocok dalam hal ini. Sementara itu diadakan pula majlis-majlis yang lain untuk ilmu-ilmu yang rinci seperti tilawah, tajwid, As Sunnah dan ilmu-ilmunya, tafsir, ilmu-ilmu Al Qur’an, fiqh, ushul fiqh dan lain sebagainya.

Titik awal keberhasilan amal ini adalah adab yang mengatur guru dan murid. Selagi tidak ada adab yang mengikat murid dengan gurunya maka tidak akan bisa berlanjut dalam perjalanan. Selagi guru tidak melaksanakan adab ta’lim (mengajarkan ilmu) maka keberhasilannya sangat ditentukan oleh sejauh mana ia melaksanakan adab-adab tersebut. Oleh karena itu, mengetahui adab guru dan murid termasuk hal yang sangat penting dalam perjalanan kepada Allah, bahkan untuk menegakkan agama dan dunia.

Gerakan da’wah yang paling berhasil dalam sejarah Islam adalah gerakan yang menekankan sejak awal pada:
Kepercayaan (tsiqah) kepada pimpinan dan pemimpin, kepercayaan yang menumbuhkan ketaatan hati.
Dzikir terus-menerus dan ilmu yang menyeluruh, yang diperlukan dan yang sesuai .
Keakraban dengan lingkungan yang baik, menghadiri pertemuan-pertemuan –dzikir,ilmu dan lainnya- dan memperkuat berbagai hubungan antar-anggotanya
Penumbuhan adab-adab hubungan yang baik antara dirinya dan manusia secara umum
Pelaksanaan public service (Khidmah ‘aammah) dengan penuh semangat dan perhatian

Gerakan yang menghimpun nilai-nilai ini pada para pemulanya adalah gerakan yang mampu hidup dan tambah. Oleh karena itu, para ulama aktivis harus menekankan nilai-nilai ini agar bisa diserap dan dihayati oleh para pemula sejak awal.

Nuh as. menyeru kaumnya seraya berkata:

“Sembahlah Allah, bertaqwalah kepadaNya dan ta’atlah kepadaku.” (Nuh: 3)

Setiap Rasul menyeru kaumnya kepada hal yang sama.

“Dan Kami tidak mengutus seorang Rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwasanya tidak ada Tuhan melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku” (Al Anbiya: 25)

Nabi Hud, Shalih, Syu’aib dan lainnya juga berseru “Bertaqwalah kalian kepada Allah dan ta’atlah kepadaku”

Selama seorang murabbi tidak berhasil menumbuhkan keta’atan yang penuh kesadaran dari seorang murid, membiasakannya melakukan ibadah, dan merealisasikan ketaqwaannya maka sesungguhnya ia belum berbuat sesuatu. Titik awal hal ini terletak pada ihtiram (penghormatan) dan tsiqoh (kepercayaan) seorang murid kepada gurunya, dan kelayakan guru mendapatkan hal tersebut. Semua ini membuat kami harus memulai kajian di dengan Adab Guru dan Murid dari kitab Ilya’. Marilah kita ikuti keterangan Al Ghazali secara langsung.

0 comments:

Post a Comment

 
.:[Close]:.
Welcome