Banner 468 x 60px

 

Sunday, November 17, 2013

Adab dan Tugas Murid (3)

0 comments
(Said Hawwa) Ketujuh, hendaklah tidak memasuki suatu cabang ilmu sebelum menguasai cabang ilmu yang sebelumnya; karena ilmu tersusun secara berurut, sebagiannya merupakan jalan bagi sebagian yang lain. Orang yang mendapat taufiq ialah orang yang menjaga urutan dan pentahapan tersebut. Hendaklah tujuannya dalam setiap ilmu yang dicarinya adalah peningkatan kepada apa yang berada di atasnya. Oleh sebab itu, ia tidak boleh menilai tidak benar suatu ilmu karena adanya penyimpangan di kalangan orang-orang yang menekuninya, atau karena kesalahan salah seorang atau beberapa orang di dalam ilmu itu, atau karena pelanggaran mereka terhadap konsekwensi amaliah dari ilmu mereka. Sehingga ada sekelompok orang yang tidak mau melakukan kajian dalam masalah ‘aqliyah dan fiqhiyah dengan alasan seandainya punya dasar niscaya sudah dicapai oleh para ahlinya. Ada juga sekelompok orang yang meyakini kebatilan ilmu kedokteran hanya karena mereka pernah menyaksikan kesalahan yang dilakukan oleh seorang dokter.

Ada pula kelompok yang meyakini kebenaran ramalan perbintangan (perdukunan) hanya karena adanya kesesuaian yang pernah dibuktikan oleh seseorang. Semua kelompok tersebut tidak benar, tetapi ia harus mengenali sesuatu itu sendiri, bukan melalui orang yang menekuninya. Karena tidak setiap orang bisa menguasai ilmu dengan baik. Oleh sebab itu, Ali Radhiyallahu ‘Anh berkata, “Janganlah kamu mengenali kebenaran melalui orang tetapi kenalilah kebenaran pasti kamu akan mengetahui orangnya.”
Kedelapan, hendaklah mengetahui faktor penyebab yang dengannya ia bisa mengetahui ilmu yang paling mulia. Apa yang dimaksudkannya adalah dua hal; pertama kemuliaan hasil; dan kedua kekokohan dan kekuatan dalil. Hal ini seperti ilmu agama dan ilmu kedokteran. Hasil dari ilmu agama adalah kehidupan yang abadi sedangkan hasil ilmu kedokteran adalah kehidupan yang fana. Dengan demikian, ilmu agama lebih mulia.
Atau seperti ilmu hisab dan ilmu ramalan perbintangan. Ilmu hisab lebih mulia karena kekokohan dan kekuatan dalilnya. Jika ilmu hisab dibandingkan dengan ilmu kedokteran maka ia lebih mulia. Dengan demikian jelas bahwa ilmu yang paling mulia adalah ilmu tentang Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasulul-rasul-Nya, dan ilmu tentang jalan yang mengantarkan kepada ilmu-ilmu ini.
Kesembilan, hendaklah tujuan murid di dunia adalah untuk menghias dan mempercantik batinnya dengan keutamaah, dan di akhirat adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah dan meningkatkan diri untuk bisa berdekatan dengan makhluk tertinggi dari kalangan malaikat dan orang-orang yang didekatkan (muqarrabin). Hendaklah murid tidak bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan, harta, dan pangkat, atau untuk mengelabui orang-orang bodoh dan membanggakan diri kepada sesama orang yang berilmu. Di samping itu, ia tidak boleh meremehkan semua ilmu, yakni ilmu fatwa, ilmu nahwu dan bahasa yang berkaitan dengan Al Qur’an, ‘Alaihis Salam  Sunnah dan ilmu-ilmu lainnya yang merupakan fardhu kifeyah.
Janganlah sekali-kali Anda memahami dari sanjungan kami yang berlebih-lebihan kepada ilmu akhirat ini sebagai pelecehan terhadap ilmu- ilmu yang lainnya. Karena orang-orang yang bertugas menekuni ilmu-ilmu tersebut sama seperti orang-orang yang bertugas menjaga front perbatasan (Darul Islam) dan orang-orang yang berjihad di jalan Allah. Di antara mereka ada yang bertugas sebagai petempur, ada yang menjaga pertahanan, ada yang bertugas mengurusi perbekalan air, ada yang menjaga binatang-binatang tunggangan dan lain sebagainya. Setiap orang dari mereka mendapatkan pahala, jika tujuannya untuk meninggikan kalimat Allah bukan untuk mendapatkan harta rampasan. Demikian pula para ulama’. Allah berfirman, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al Mujadilah: 11) Allah berfirman, “(Kedudukan) mereka itu bertingkAt Tingkat di sisi Allah.” (Ali Imran: 163) Keutamaan tersebut bersifat nisbi.
Janganlah Anda mengira bahwa derajat di bawah tingkatan yang paling tinggi itu jatuh nilainya, karena tingkatan tertinggi adalah tingkatan para nabi kemudian para wali, kemudian para ulama’ yang mendalam ilmunya, kemudian orang-orang yang shalih dengan segala perbedaan derajat mereka. Secara umum “Barangsiapa yang mengefjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (Az Zalzalah: 7-8) Dan barangsiapa dengan ilmunya, ilmu apa saja, bermaksud mencari ridha Allah maka pasti ilmu itu akan bermanfaat baginya dan mengangkat derajatnya.
Kesepuluh, hendaklah mengetahui kaitan ilmu dengan tujuan agar supaya mengutamakan yang tinggi lagi dekat darpada yang jauh, dan yang penting daripada yang lainnya. Arti ‘yang penting’ ialah apa yang menjadi kepentingan Anda -tidak ada yang menjadi kepentingan Anda kecuali urusan dunia dan akhirat.
Jika Anda tidak bisa menghimpun antara kesenangan dunia dan keni’matan akhirat, sebagaimana ditegaskan Al Qur’an dan diberi kesaksian oleh cahaya bashirah. maka yang lebih penting adalah apa yang tetap ada selama-lamanya; sehingga pada saat itu dunia menjadi tempat singgah, jasad menjadi kendaraan, dan amal perbuatan menjadi upaya menuju tujuan yang tidak lain adalah perjumpaan dengan Allah yang merupakan ni’mat terbesar, sekalipun hanya sedikit di dunia ini orang yang mengetahui nilainya.
Renungkanlah hal ini terlebih dahulu dan terimalah nasehat gratis dari orang yang telah mendapatkan pengalaman berharga tersebut dan tidak berhasil mencapainya kecuali setelah usaha keras dan keberanian yang sepenuhnya untuk menentang orang-orang awam dan khusus dalam menghentikan taqlid mereka semata-mata karena syahwat.

0 comments:

Post a Comment

 
.:[Close]:.
Welcome